https://youtu.be/j4XB-lJaI2M
Tradisi Majaga-jaga di Telunwayah, Desa Tri Eka Buana, Sidemen, Karangasem. Tradisi Majaga-jaga merupakan simbol penolak bala, membersihkan seluruh alam semesta, termasuk wilayah desa dari hal negatif. Agar tetap hidup harmonis dan terhindar dari musibah. Dengan itu tradisi ini tidak pernah ditiadakan, meski apapun kondisi dan situasinya.
Majaga-jaga disebut sudah ada sejak lama dan merupakan tradisi turun temurun. Tidak ada bukti tertulis yang menyebutkan tahun pertama kalinya digelar.
Sarana upacara yang digunakan adalah seekor banteng yang tidak boleh cacat. Baik dari segi warna bulu, bentuk fisik, dan sebagainya. Tradisi Majaga-jaga digelar setiap Tilem Kasanga atau bertepatan pada hari Pangrupukan atau sehari sebelum hari raya Nyepi.
Tepat saat hari Tilem Kasanga, semua warga sudah siap dengan kayunya masing-masing yang nantinya dipakai untuk memukul banteng. Sebelum diarak keliling desa, banteng dihias dengan aneka rupa bunga dan janur, serta diikat tali dan bambu sebagai pemegang kendali, lalu diupacarai di jaba sisi pura tepat didepan Kori Agung Pura Puseh dan Bale Agung desa setempat.
Jro Mangku Pura Puseh melantunkan bait mantra demi kelancaran Tawur Tabuh Rah dan mendoakan banteng agar naik derajat karena dijadikan kurban upacara.
Setelah usai di upacarai banteng diputar tiga kali, dan bersamaan dengan itu, krama sembahyang memohon keselamatan. Ketua pecalang bersiap dengan sebilah tombak bambu. Tombak itu yang akan dipakai untuk mencucurkan darah kerbau sebagai simbol persembahan.
Pecalang lalu menghunuskan tombak ke bagian belakang banteng (pantat) hingga mengeluarkan darah. Warga sontak bersorak sambil mengacungkan kayu pemukul sebagai wujud syukur. Gemuruh gong baleganjur yang menghentak ditambah nyanyian kidung Wargasari membuat warga, khususnya pemuda kian membara. Kulkul tiap banjar dan pura pun berbunyi menyemarakkan suasana.
Banteng kemudian diarak dari Pura Puseh menuju kuburan dan sepanjang perjalanan, para pemuda secara bergiliran memukul tubuh banteng. Tapi pelan-pelan agar banteng tidak mati di tengah jalan. Tidak boleh mati sebelum sampai setra (kuburan). Kalau mati, upacara dinyatakan gagal karena yang kita haturkan harus dalam keadaan hidup.
Darah banteng bercucuran sepanjang perjalanan. Warga juga menjaga di rumah masing-masing, lalu ikut memukul banteng dengan kayu yang sudah disiapkan sebelumnya. Banteng akan diarak berputar tiga kali jika melewati persimpangan jalan. Sampai di kuburan, banteng kembali diputar tiga kali di atas gundukan tanah tempat pembakaran jenazah. Di sini warga bebas memukul banteng hingga tak berdaya. Ketua pecalang kemudian kembali menusuk leher banteng menggunakan tombak berbahan bambu.
Ceceran darahnya di ujung tombak bambu dihaturkan sebagai persembahan bagi para bhuta di area kuburan. Setelah banteng mati, dagingnya disembelih dan dibagikan merata ke semua warga. Akan tetapi kulit, kepala, dan empat kakinya disisakan untuk dipersembahkan ke pangancan Bhatara Setra yang prosesinya dipandu Jro Mangku Dalem pada sore harinya.
Majaga-jaga dimaknai sebagai momentum untuk mempersembahkan hewan kurban kepada Ida Bhatara Puseh Bale Agung dan Ida Bhatara Setra di kuburan desa setempat. Upacara tersebut tidak pernah absen digelar karena sangat penting bagi eksistensi adat desa Telunwayah.
Tradisi ini memiliki makna untuk menetralisasi Bhuana Alit dan Agung secara sekala dan niskala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih , semoga sukses selalu